Lima pekan perburuan harimau sumatera di Kabupaten Lampung Barat, Lampung, tak kunjung membuahkan hasil. Di saat yang sama, korban dilaporkan terus berjatuhan diserang hewan liar dengan nama latin panthera tigris sondaica tersebut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lantas membentuk tim gabungan untuk memburu harimau tersebut.
"Sebagai respons atas laporan masyarakat terkait kehadiran harimau sumatera di Lampung Barat, KLHK melalui Ditjen KSDAE telah mengambil langkah-langkah cepat dan terukur untuk menangani kejadian tersebut," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Satyawan Pudyatmoko, kepada Tempo pada Jumat, 15 Maret 2024.
Satyawan menyebut insiden serangan harimau sumatera di Lampung Barat setidaknya telah terjadi dua kali. Pertama pada 8 Februari. Korbannya adalah Gunarso, 47 tahun, seorang petani di Pekon Sumber Agung, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat. Korban ditemukan tewas dalam kondisi penuh luka di sekujur tubuh diduga akibat terkaman harimau.
Kejadian kedua pada 22 Februari 2024, yang menyerang Sahri, 28 tahun. Korban merupakan warga Pekon Bumi Hantatai, Kecamatan Bandar Negeri Suoh. Peristiwa penyerangan terjadi saat Sahri tengah berkebun. Peristiwa teranyar pada 11 Maret 2024 yang menimpa petani bernama Samanan, 41 tahun, warga Desa Sukamarga, Kecamatan Suoh. Korban berhasil menyelamatkan diri dalam kondisi luka-luka.
Satyawan menjelaskan, pihaknya telah membentuk tiga tim gabungan. Berasal dari Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung. Tim tersebut dibagi tugas untuk melakukan patroli. Meliputi pemantauan di lokasi konflik, mencari tanda-tanda keberadaan harimau sumatera berupa jejak dan bukti-bukti lain, juga memastikan lokasi pemasangan kandang jebak.
Tim lain bertugas menangkap dan evakuasi satwa. Di antaranya berperan memasang kandang jebak, camera trap, dan mengevakuasi satwa ketika berhasil ditangkap. "Berikutnya ada tim pengamanan masyarakat yang bertugas menenangkan, memberikan imbauan, dan sosialisasi kepada masyarakat," kata Satyawan.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengaweran Tumbuhan dan Satwa, diatur ihwal satwa yang membahayakan kehidupan masyarakat. Misalnya, harimau yang membahayakan pemukiman penduduk harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk diselamatkan dan dikembalikan ke habitatnya.
"Apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa tersebut dapat dititip-rawatkan di lembaga konservasi.” Saat ini, pemerintah telah membuat 4 unit kandang jebak. Selain itu, juga disiapkan metode penangkapan lain menggunakan metode pembiusan atau anestesi menggandeng tim ahli dari Taman Safari Indonesia.
Satyawan juga turut mengomentari ihwal insiden pembakaran kantor polisi hutan TNBBS Resort Suoh yang dibakar oleh massa pada 11 Maret lalu. Pembakaran itu disinyalir sebagai bentuk protes warga terhadap respons pemerintah yang dinilai lambat menuntaskan konflik harimau dengan warga setempat. “Luapan emosi dan kekesalan warga mungkin dipicu karena berbagai kondisi seperti halnya keamanan, kenyamanan, ekonomi, dan lain-lain," kata dia.
Dia mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan tidak bertindak anarkis. Kata dia, pemerintah juga telah menggandeng TNI dan kepolisian untuk berupaya menangkap harimau sumatera tersebut. Satyawan sembari menyinggung bahwa harimau sumatera merupakan jenis hewan yang dilindungi undang-undang.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan telah menurunkan tim dari Jakarta untuk membantu mengejar harimau yang menyerang manusia di sekitar TNBBS Lampung. "Sekarang kami menurunkan tim, termasuk penembak bius," ucap Menteri Siti pada 14 Maret 2024.
Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara Supintri Yohar menduga berbagai insiden serangan harimau sumatera di Lampung Barat dilakukan oleh seekor harimau yang sama. Terjadi akibat rusaknya habitat harimau di kawasan TNBBS. “Bisa jadi karena ekosistemnya rusak sehingga harimau kesulitan mencari pakan dan akhirnya masuk ke kebun-kebun masyarakat,” ucap Supintri.
Potensi lain adalah akibat minimnya patroli pengawasan di kawasan taman nasional. Kata dia, dulu pemerintah banyak dibantu oleh organisasi masyarakat sipil untuk melakukan penjagaan kawasan hutan. Di antaranya menjamin tidak adanya perburuan satwa liar, tidak adanya perambahan hutan, dan berbagai kegiatan lain. Kini aktivitas itu terhenti sehingga dimungkinkan perambahan hutan dan perburuan satwa terjadi. Berdampak pada rusaknya habitat harimau.